Sistem Informasi

Sistem adalah kumpulan elemen yang berintegrasi untuk mencapai tujuan tertentu, sedangkan informasi adalah data yang telah diolah menjadi bentuk yang lebih berarti bagi penerimanya dan bermanfaat dalam mengambil keputusan saat ini atau mendatang (Davis, 1999).

Minggu, 10 Maret 2013

Pemikiran Ekonomi Islam dan New Global Economic

Pemikiran Ekonomi Islam dan New Global Economic


The paper examines the teachings of the Qur’an and the Sunnah and the views of a number of classical Muslim scholars with respect to the unity of mankind and its implications for integration of the world economies through increased specialization and division of labor and removal of restrictions on the free flow of goods, services, labor and capital. It then discusses the extent to which these teachings and views fit within the framework of the New Global Economy. It argues that the philosophy ingrained in Islamic teachings and the writings of Muslim scholars considers the promotion of justice to be indispensable for achieving the desired integration of the world economies. The paradigm of the New Global Economy, unfortunately, lacks this commitment to justice. Hence the resistance to globalization. The author argues that Muslim countries should, nevertheless, support globalization, but should simultaneously struggle for the injection of justice in its paradigm. This will, however, not be sufficient by itself. They should also strive for introducing greater justice in their own economies and also adopt a number of measures that would help them meet successfully the challenges of globalization.



Konsep New Glogab Economics yang merupakan versi lain dari Neoclassical Economis, memiliki suati faham/pandangan atau konsep liberalisasi dan integrasi. Yang dimaksudkan disini ialah, penghapusan peran negara dalam urusan pasar dan harga lalu meliberalisasikan perekonomian agar terwujud pengembangan ekonomi yang lebih cepat. Hal ini memaksa pemerintahan hanya memegang sedikit dalam urusan perekonomian. New Global Economy berusaha memperkuat Neoclassical Economics dan menekankan pada perdagangan yang liberal, dan pergerakan bebas atas modal, pekerja, teknologi, dan informasi. Semenjak kekuatan besar di Barat bersama dengan IMF dan World Bank mengadopsi pandangan ini, seluruh Negara di dunia dipaksa (untuk mengadopsi pandangan itu juga), dan untuk me-liberal-kan ekonomi mereka, khususnya perdagangan, demi memperluas pedagangan dunia. Hal ini memberi peluang untuk pasar yang lebih luas juga penyebaran kemampuan ahli dalam hal teknologi dan manajemen, yang diharapkan dapat memberikan produktivitas yang lebih baik dan standar hidup yang lebih tinggi. Diharapkan juga hal ini dapat membantu mendukung integrasi dalam ekonomi dunia dan menuntun kepada pengembangan ekonomi yang lebih cepat di seluruh negara. Negara – negara lain yang tidak ikut mengadopsi faham ini akan terancam secara otomatis “keuntungan jangka panjang” mereka sendiri. 

Tujuan dari peng-integrasi-an atas ekonomi dunia bukanlah hal yang baru dalam pemikiran Islam. Persatuan umat manusia merupakan hal yang mendasar dari konsep fundamental Islam mengenai Ketuhanan Yang Maha Esa (Tauhid). yang menjadi permasalahan adalah perbedaan yang muncul dalam hal kewarganegaraan, ras, dan warna kulit yang tidak memiliki tempat dalam agama yang mengajarkan untuk menjunjung tinggi persaudaraan antar umat manusia. Tujuan Islam adalah untuk mempersatukan mereka semua, banyak cara yang tersedia dan salah satunya berasal dari interaksi ekonomi. terutapa dengan konsep "new global economics" yang berarti membebaskan batasan apapun dengan meningkatkan interaksi dan kerjasama yang lebih baik. 

Untuk mencapai tujuan daripada persatuan umat manusia yang menghilangkan batasan – batasan yang secara sengaja dibuat, akan sulit dicapai apabila tidak diiringi dengan suatu keadilan dalam interaksi antar manusia yang merata didalamnya. Oleh karena itu, 
Al-Qur’an menyatakan bahwa keadilan merupakan tujuan utama mengapa Allah mengutus Rasul-Nya kepada umat manusia 
(Al-Qur’an, 57:25). 
Rasulullah (Shallawlohi ‘alaihi wassalam) juga menyatakan bahwa ketidak adilan sama dengan “gelap gulita” dikarenakan ketidakadilan melemahkan solidaritas, meningkatkan konflik dan ketegangan, serta memperburuk permasalahan manusia. Bersesuaian dengan komitmen ini mengenai keadilan dan kesetaraan, Islam mencoba meng-integrasi-kan sistem ekonomi yang berbeda di bawah pengaruhnya dengan keadilan dan kesetaraan selama masa kejayaan peradaban Muslim. 

Tujuan dalam mengintegrasikan perekonomian merupakan hal yang wajar dan sudah umum bagi Islam dan New Global Ecomomics. Namun pada strategi pencapaiannya sangatlah berbeda. Islam yang lebih mengedepankan keadilan berdasarkan kriteria moral, sedang New Global Ecomomics lebih mengandalkan negosiasi demi keuntungan pribadi. Desinilah perbedaan antara dua konsep yang memiliki tujuan sama, yang selanjutnya terpisahkan satu sama lainnya. New Global Economy terus saja mengacu pada aturan-aturan Neoclassical Economics yang sekuler, dimana tidak ada ruang untuk pertimbangan nilai, serta memaksimalkan kekayaan dan pencapaian keinginan adalah tujuan utamanya, selain itu, mendapatkan keuntungan pribadi merupakan hal yang paling memotivasi mereka. Namun, hal ini tidak dapat menentukan keadilan tanpa pertama-tama menentukan yang mana benar dan yang mana salah, yang mana adil dan yang mana tidak, serta yang mana yang diinginkan dan yang mana yang tidak diinginkan. Hal ini memerlukan pertimbangan nilai. Ketidakmampuan Neoclassical Economics untuk melakukan pertimbangan nilai, membuatnya kehilangan kemampuan dasar untuk menyadari keadilan. Jika pertimbangan nilai yang berdasarkan pada kriteria moral dihilangkan, maka satu-satunya cara untuk menentukan mana benar dan mana salah hanyalah berdasarkan keuntungan pribadi, dimana semua pihak akan mencoba mencapainya melalui negosiasi. Dalam negosiasi seperti itu, pada dasarnya yang paling kaya dan kuatlah yang dapat meraup keuntungan terbesar dikarenakan kekuatan ekonomi dan politik mereka, yang mereka gunakan untuk mem-bully mereka yang lemah dan powerless. 

Para ilmuan muslim sudah banyak membicarakan hal tersebut dan menyadari bahwa jalan keluar yang mungkin dicapai adalah dengan pembagian yang adil antara tenaga kerja dan keahlian. Hal ini digambarkan oleh perkataan Shams Al-Din Al-Sarakhsi (483H/1090G) : “Para petani membutuhkan hasil kerja para penenun untuk mendapatkan pakaian, dan penenun membutuhkan hasil kerja para petani untuk mendapatkan makanan dan kapas untuk membuat pakaian… Jadi semua orang menolong yang lain dengan hasil kerjanya…”. Dengan begitu keadilan bisa dicapai dan melalui keadilan juga dapat membantu penebaran perkembangan secara merata kepada seluruh partisipan yang kemudian menciptakan keadaan yang mendukung untuk terciptanya solidaritas. 

Salah satu pengertian dari keadilan adalah semua yang setara harus diperlakukan setara dan sebaliknya. 
Hal ini menyiratkan bahwa, ketika ekspor dari Negara industry harus meningkat, ekspor dari Negara berkembang juga harusnya meningkat, dan diharapkan dalam laju yang lebih tinggi daripada Negara industry sehingga dapat meningkatkan keuntungan dari Negara-negara berkembang ini dalam perdagangan internasional dan mengurangi kesenjangan antara Negara yang kaya dan yang miskin. Tidak adanya keadilan dalam paradigma New Global Economy telah mengakibatkan stress yang tidak semestinya dalam negosiasi. Pengalaman menunjukkan bahwa dalam negosiasi biasanya Negara miskin yang harus memohon, sementara Negara yang kaya dan kuat dapat bertindak sesukanya. Oleh karena itu, tidak mengherankan, Dr. Ahmad Mohamed Ali, Ketua dari Islamic Development Bank, mengatakan bahwa bagi Negara berkembang untuk mencapai WTO sudah seperti melewati hutan lebat yang dipenuhi tumbuhan lebat, jalan yang berliku, dan raksasa, monster pemakan manusia. Hasilnya ketika negara miskin meliberalisasikan perdagangan mereka, negara kaya tetap secara tegas berseikap proteksionis terhadap pasar mereka. Karenanya, ketimpangan pendapatan terus terjadi antara negara kaya dan negara miskin, ini adalah akibat globalisasi terhadap negara miskin. 

Oleh karena itu, tidak perlu untuk terlalu takut akan globalisasi. 
Globalisasi adalah tantangan dan juga kesempatan. Seperti yang dikatakan sebelumnya, Muslim telah menjadi pencetus globalisasi. 
Seluruh wilayah di bawah pemerintahan Muslim menjadi pasar umum yang luas dan berkontribusi kepada pengembangan di segala bidang dan memberikan peningkatan dalam pendapatan orang-orang. Jadi kenapa kita harus takut terhadap globalisasi sekarang. Kita, sudah seharusnya, berjuang untuk keadilan, namun juga tidak lupa untuk memastikan pengenalan perubahan politik, hukum, social dan ekonomi yang dibutuhkan untuk memanfaatkan sumber daya kita secara efektif sehingga kemudian dapat memenuhi tantangan globalisasi. 


Kesimpulan

Pada dasarnya Islam lah yang mengawali konsep tentang New Global Economics, yang bertujuan untuk meliberalkan pasar dan perdagangan guna mempercepat perkembangan ekonomi secara global. Tujuan lain daripada pemikiran ekonomi islam tentang pengliberalisasian pasar dan perdagangan ialah untuk mempersatukan umat yang berdasarkan kepada konsep fundamental Islam mengenai Ketuhanan Yana Maha Esa (Tauhid). Yang menjadi permasalahan daripada tujuan itu ialah perbedaan dalah hal kewarganegaraan, ras dan warna kulit, tujuan islam ialah untuk mempersatukannya melalui berbagaimacam cara yang salah satunya melalui interaksi ekonomi.

Interaksi ekonomi yang baik adalah interaksi yang berlandaskan akan keadilan antar kedua belah pihak, hal ini bertentangan dengan konsep New Global Economis yang lebih menitik beratkan pada keuntungan pribadi. interaksi ekonomi didapat namun ketidak adilan muncul disitu. Dalam kasus real dimana konsep New Global Economics lebih mendominasi di banding Pemikiran Ekonomi Islam, Negara miskin terpaksa memohon kepada Negara kaya dan Negara kaya hanya bertindak sesukanya yang asal menguntungkan dirinya. Dari sinilah tantangan dimana keadilan sulit dicapai dalam interaksi ekonomi global. 

Semestinya kedua konsep ini dapat saling bekerja sama dalam mencapai tujuannya dengan menselaraskan strategi yang baik lagi benar, terutama dalam penerapan keadilannya. Karena dari ketidak adilan ini hanya menimbulkan benih-benih perpecahan dan memperlebar jurang pemisah antara negara kaya dan miskin. Apalah guna suatu perkara jika diakhirnya hanya untuk mencapai kekayaan semata (harta)? Maka disinilah cobaan untuk seluruh umat muslim di seluruh dunia. Untuk menegakkan suatu keadilan antar umat manusia guna menegakkan ketauhidan sebagai muslim. 
Semoga Allah memudahkan dan meridhoi atas segala usaha umat muslim dalam perkara ini, InsyaAllah..

Alendy Senda
SI - 2A 2012
1112093000012
Referensi: Islamic Economic Studies Vol.9, No.1, September 2001

1 komentar:

@bayuwaspodo - bayu.waspodo@uinjkt.ac.id mengatakan...

Pendapat belum mewakili poin-poin yg dibahas dalam tulisan.